BINATANG PREDATOR
Rawa-rawa dan semak belukar seperti ini, masih banyak dijumpai
di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya. Inilah lokasi yang nyaman
buat berlindungnya hewan melata, termasuk biawak.
V. Salvator, satu dari 25 spesies biawak yang dijumpai di Indonesia, banyak
ditemui di daerah ini. Semak-semak, yang nyaris gelap tertutupi lembar-lembar
daunnya, adalah tempat ideal buat biawak, yang disebut-sebut sebagai nenek moyang
ular ini, menetap.
Merayap, langkah demi langkah menyusuri permukaan tanah, seraya waspada akan
keadaan sekelilingnya, itulah gambaran biawak, hewan pemangsa serangga, mamalia
kecil, burung, dan ikan.
Badan ramping menyerupai ular, dengan leher dan ekornya yang panjang, menjadikan
sosok biawak begitu menyeramkan. Ditambah pula lidahnya yang bercabang, yang
sering terjulur jauh keluar mulut.
Meski taringnya tak mengandung bisa, namun cakarnya yang kuat, dan ekornya
yang berotot, sering membuat orang tak berhasrat untuk mendekatinya.
Namun hasrat orang kebanyakan ini tak muncul pada diri seorang Saman, lelaki
paruh baya warga Kampung Singkil, Babelan, Bekasi. Saman, atau biasa orang menyapanya
dengan sebutan engkong, justru dalam 6 tahun belakangan ini, harus mencari,
mendekat dan memburu biawak. Saman adalah pemburu biawak.
Hari masih terbilang pagi, saat Saman meninggalkan bilik rumahnya. Tak banyak
peralatan yang dibawa untuk memburu biawak. Ia hanya perlu karung plastik, sebilah
golok, kala, yakni perangkat penjerat biawak, dan bekal seadanya. Perjalanan
menuju lokasi tempat ia biasa meletakkan kalanya, yang ditempuh dengan jalan
kaki, tak cukup satu jam. Meski tak lagi muda, namun langkah kakinya yang tidak
dibalut alas kaki, menyusuri pematang sawah dan tepian kali, amatlah ringan.
Setibanya di lokasi, di Kampung Pondok, sekitar 2 kilometer dari rumahnya,
ia cukup melihat kalanya. Kala, jebakan penjerat biawak ini, terbuat dari potongan-potongan
bambu yang terangkaikan dengan tali. Kala ini dilengkapi dengan umpan untuk
memikat biawak. Umpan biasanya ikan yang berbau menyengat.
Peruntungan Saman ada pada 26 kala yang dipasang di 2 lokasi berbeda. Bila
beruntung, tak sedikit biawak yang terjerat di kala-kalanya. Pengakuan lelaki
ini, 8 sampai 10 ekor biawak dapat ia bawa pulang setiap harinya. Hasil ini,
tak sebanyak buruannya dulu, di saat ia mengawali peran sebagai pemburu biawak.
Perkara tergigit biawak, tercakar, ataupun tersabet kibasan ekor biawak adalah
hal biasa buat Saman. Bila jari-jari tangannya menjadi korban, tak sedikitpun
ia berupaya mengobatinya. Luka akan sembuh dalam 3 hari. Bila tak kunjung sembuh,
ia cukup menaburkan bubuk penyedap rasa di luka.
Masih
di kampung yang sama, Yamanto juga melakukan perburuan yang sama dengan Saman.
Hanya saja, Yamanto lebih banyak memanfaatkan perahunya menyusuri tepian Sungai
Jebe-el untuk menempatkan umpannya. Yamanto selama ini memang mencari lokasi
biawak yang agak berbeda dengan Saman. Ia lebih banyak menempatkan kala-kalanya
di semak dan tempat-tempat yang dekat dengan air. Puluhan tahun berburu biawak,
membuatnya tak sulit untuk mengetahui dimana lokasi bersarangnya biawak.
Siang atau sore hari saat ia kembali melihat kala-kalanya, adalah masa-masa
yang cukup mendebarkan buat diri Yamanto. Adakah biawak yang terjerat ??. Bila
belum ada, ia akan membiarkan umpannya terpasang. Hanya saja bila sampai 4 hari
tak juga mendatangkan hasil, ia segera memindahkan kalanya ke lokasi lain.
Seringnya, umpan yang dipasang, sukses. Biawak ditemukan telah terjerat di
kalanya, entah terjerat lehernya, atau pinggangnya, ataupun kakinya.
Berbeda dengan Saman, Yamanto yang asli lahir dan dibesarkan di kampung ini,
merasa, semakin banyak biawak ditemukan di sekitar kampungnya. Ia beranggapan,
hutan yang semakin menipis membuat biawak terpaksa turun kampung, mencari semak
dan membuat lubang untuk perlindungannya.
Entahlah, anggapan mereka soal semakin banyak atau sedikitnya biawak, mungkin
hanya soal persepsi. Mereka masing-masing berpijak dari hasil buruannya saja.
Mungkin ini hanya soal rezeki.
Biawak, tak hanya menarik perhatian Andik, Bambang dan warga Kampung Singkil
saja. Dua lelaki asal Jogjakarta di bilangan Pluit-pun punya minat yang
sama. Mereka juga berburu biawak, cuma caranya lain. Mereka, seperti halnya
memancing ikan, menggunakan kail pancing untuk menaklukkan biawak. Sekitar Danau
Pluit yang kerap meluap, merupakan tempat bersarang biawak.
Dari sekitar 7 sampai 10 kail pancing yang dipasang, paling tidak setiap pagi
atau sore ada seekor biawak besar yang tertangkap. Dibanding biawak di Kampung
Singkil, biawak yang diburu di Pluit berukuran lebih besar, umumnya lebih dari
satu meter yang berbobot sekitar 12 sampai 15 kilogram.
Andik,
Bambang, dan 2 lelaki di Pluit ini punya kepentingan yang sama. Mereka sama-sama
menghidupi diri dan kelurganya dengan berburu biawak, yang kemudian dijual ke
para penampung, atau langsung ke pemilik rumah makan. Rata-rata seekor biawak
dihargai 15 ribu sampai 25 ribu rupiah, tergantung ukuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar