Rabu, 03 Juli 2013

Cara berburu Biawak


                       BINATANG PREDATOR

           Rawa-rawa dan semak belukar seperti ini, masih banyak dijumpai di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya. Inilah lokasi yang nyaman buat berlindungnya hewan melata, termasuk biawak.
V. Salvator, satu dari 25 spesies biawak yang dijumpai di Indonesia, banyak ditemui di daerah ini. Semak-semak, yang nyaris gelap tertutupi lembar-lembar daunnya, adalah tempat ideal buat biawak, yang disebut-sebut sebagai nenek moyang ular ini, menetap.
Merayap, langkah demi langkah menyusuri permukaan tanah, seraya waspada akan keadaan sekelilingnya, itulah gambaran biawak, hewan pemangsa serangga, mamalia kecil, burung, dan ikan.
Badan ramping menyerupai ular, dengan leher dan ekornya yang panjang, menjadikan sosok biawak begitu menyeramkan. Ditambah pula lidahnya yang bercabang, yang sering terjulur jauh keluar mulut.
        Meski taringnya tak mengandung bisa, namun cakarnya yang kuat, dan ekornya yang berotot, sering membuat orang tak berhasrat untuk mendekatinya.
Namun hasrat orang kebanyakan ini tak muncul pada diri seorang Saman, lelaki paruh baya warga Kampung Singkil, Babelan, Bekasi. Saman, atau biasa orang menyapanya dengan sebutan engkong, justru dalam 6 tahun belakangan ini, harus mencari, mendekat dan memburu biawak. Saman adalah pemburu biawak.
Hari masih terbilang pagi, saat Saman meninggalkan bilik rumahnya. Tak banyak peralatan yang dibawa untuk memburu biawak. Ia hanya perlu karung plastik, sebilah golok, kala, yakni perangkat penjerat biawak, dan bekal seadanya. Perjalanan menuju lokasi tempat ia biasa meletakkan kalanya, yang ditempuh dengan jalan kaki, tak cukup satu jam. Meski tak lagi muda, namun langkah kakinya yang tidak dibalut alas kaki, menyusuri pematang sawah dan tepian kali, amatlah ringan.
Setibanya di lokasi, di Kampung Pondok, sekitar 2 kilometer dari rumahnya, ia cukup melihat kalanya. Kala, jebakan penjerat biawak ini, terbuat dari potongan-potongan bambu yang terangkaikan dengan tali. Kala ini dilengkapi dengan umpan untuk memikat biawak. Umpan biasanya ikan yang berbau menyengat.
Peruntungan Saman ada pada 26 kala yang dipasang di 2 lokasi berbeda. Bila beruntung, tak sedikit biawak yang terjerat di kala-kalanya. Pengakuan lelaki ini, 8 sampai 10 ekor biawak dapat ia bawa pulang setiap harinya. Hasil ini, tak sebanyak buruannya dulu, di saat ia mengawali peran sebagai pemburu biawak.
Perkara tergigit biawak, tercakar, ataupun tersabet kibasan ekor biawak adalah hal biasa buat Saman. Bila jari-jari tangannya menjadi korban, tak sedikitpun ia berupaya mengobatinya. Luka akan sembuh dalam 3 hari. Bila tak kunjung sembuh, ia cukup menaburkan bubuk penyedap rasa di luka.
Masih di kampung yang sama, Yamanto juga melakukan perburuan yang sama dengan Saman. Hanya saja, Yamanto lebih banyak memanfaatkan perahunya menyusuri tepian Sungai Jebe-el untuk menempatkan umpannya. Yamanto selama ini memang mencari lokasi biawak yang agak berbeda dengan Saman. Ia lebih banyak menempatkan kala-kalanya di semak dan tempat-tempat yang dekat dengan air. Puluhan tahun berburu biawak, membuatnya tak sulit untuk mengetahui dimana lokasi bersarangnya biawak.
Siang atau sore hari saat ia kembali melihat kala-kalanya, adalah masa-masa yang cukup mendebarkan buat diri Yamanto. Adakah biawak yang terjerat ??. Bila belum ada, ia akan membiarkan umpannya terpasang. Hanya saja bila sampai 4 hari tak juga mendatangkan hasil, ia segera memindahkan kalanya ke lokasi lain.
Seringnya, umpan yang dipasang, sukses. Biawak ditemukan telah terjerat di kalanya, entah terjerat lehernya, atau pinggangnya, ataupun kakinya.
Berbeda dengan Saman, Yamanto yang asli lahir dan dibesarkan di kampung ini, merasa, semakin banyak biawak ditemukan di sekitar kampungnya. Ia beranggapan, hutan yang semakin menipis membuat biawak terpaksa turun kampung, mencari semak dan membuat lubang untuk perlindungannya.
Entahlah, anggapan mereka soal semakin banyak atau sedikitnya biawak, mungkin hanya soal persepsi. Mereka masing-masing berpijak dari hasil buruannya saja. Mungkin ini hanya soal rezeki.
Biawak, tak hanya menarik perhatian Andik, Bambang dan warga Kampung Singkil  saja. Dua lelaki asal Jogjakarta di bilangan Pluit-pun punya minat yang sama. Mereka juga berburu biawak, cuma caranya lain. Mereka, seperti halnya memancing ikan, menggunakan kail pancing untuk menaklukkan biawak. Sekitar Danau Pluit yang kerap meluap, merupakan tempat bersarang biawak.
Dari sekitar 7 sampai 10 kail pancing yang dipasang, paling tidak setiap pagi atau sore ada seekor biawak besar yang tertangkap. Dibanding biawak di Kampung Singkil, biawak yang diburu di Pluit berukuran lebih besar, umumnya lebih dari satu meter yang berbobot sekitar 12 sampai 15 kilogram.
Andik,
Bambang, dan 2 lelaki di Pluit ini punya kepentingan yang sama. Mereka sama-sama menghidupi diri dan kelurganya dengan berburu biawak, yang kemudian dijual ke para penampung, atau langsung ke pemilik rumah makan. Rata-rata seekor biawak dihargai 15 ribu sampai 25 ribu rupiah, tergantung ukuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar